Jakarta, SIBER88.CO.ID_ Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum),Prof Dr Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Kamis(17/10/2024).
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Bulkhairi bin Munir dari Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Kejadian perkara bermula pada hari Minggu 4 Agustus 2024 sekitar pukul 01.00 WIB bertempat di bengkel Tersangka Gampong Cot Tunong Kecamatan Juang Kabupaten Bireuen.Tersangka Bulkhairi bin Munir yang sedang bekerja memperbaiki sepeda motor didatangi oleh saksi M. Arif Bin M. Husen dan saksi Junaidi (DPO) dengan mengendarai sepeda motor jenis Supra X warna Hitam tanpa menggunakan plat nomor polisi.
Kemudian saksi M. Arif Bin M. Husen dan saksi Junaidi (DPO) menawarkan sepeda motor tersebut kepada Tersangka dengan harga Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan alasan sedang butuh uang untuk pergi ke Takengon Aceh Tengah.
Selanjutnya Tersangka Bulkhairi bin Munir menanyakan apakah ada surat BPKB dan STNK sepeda motor tersebut, lalu saksi menjawab ada akan tetapi saksi lupa membawanya. Kemudian Tersangka menyetujui untuk membeli sepeda motor tersebut dengan harga Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) lalu membayarkannya dengan cara tunai Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dibayarkan melalui transfer ke rekening Bank BSI atas nama istri saksi.
Bahwa setelah melakukan pembayaran sepeda motor tersebut, saksi tersebut langsung pulang dan Tersangka Bulkhairi bin Munir melanjutkan pekerjaannya. Kemudian di hari Selasa tanggal 06 Agustus 2024 sekira pukul 16.00 WIB, Tersangka ditangkap oleh anggota Kepolisian Sektor Mutiara Timur dan diamankan untuk proses hukum lebih lanjut.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti sekaligus Jaksa Fasilitator Yudha Utama Putra, S.H. H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Drs. Joko Purwanto, S.H.. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 5 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
1. Tersangka Nurhaida M. Tampubolon dari Cabang Kejaksaan Negeri Toba Samosir di Porsea, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Tersangka Refil Hidayah bin Yusman dari Kejaksaan Negeri Simeulue, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Tofiq Wirawan alias Upik bin Marliansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Timur, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan/atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
4. Tersangka I Abunsio bin Sadek dan Tersangka II Hengky Jaya Sintanu bin Suriansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Timur, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
5. Tersangka I Abunsio bin Sadek dan Tersangka II Hengky Jaya Sintanu bin Suriansyah dari Kejaksaan Negeri Barito Timur, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” tandasnya.